“Mereka terus berusaha mengelabui umat
Islam agar tetap disebut sebagai umat Islam. Padahal, hakikatnya, Syiah adalah
kanker ganas dalam tubuh umat Islam” (Opini Harian Cakrawala Makassar,
14/11/2014)
Syiah secara bahasa dapat diartikan
sebagai 'kelompok, golongan' dan pendukung'. Secara istilah, Syiah adalah
sebuah sempalan dalam agama Islam yang memiliki rukun Islam dan rukun iman
tersendiri, serta menjadikan beberapa keluarga Nabi sebagai rujukan utama dalam
beragama sambil mengingkari Ahlul-Bait dan para sahabat lainnya.
Segelintir keluarga Nabi, atau
Ahlul-Bait, karena tidak semua keluarga Nabi yang menjadi rujukan, hanya yang
mereka pilih seenak hatinya. Karena itu beberpa di antaranya diangkat, dan
lainnya diinjak-injak. Contoh kongkritnya, Fatimah, putri Rasulullah diangkat
setinggi mungkin, di saat yang sama, ia malah menista istri Nabi, Aisyah r.a.,
menuduhnya sebagai wanita paling hina, pelacur, dan pasti jadi penghuni neraka.
Demikian pula Husain, putra dari Ali dan Fatimah r.a., ia sangat dimuliakan
para pengikut Syiah, bahkan menjadikan hari kematiannya sebabagi hari ratapan
dan kesedihan, setiap 10 Muharram, atau Asyura. Pada saat yang sama, Hasan yang
juga tergolong Ahlul Bait karena saudara kandung Husain, sama sekali tidak
dihiaraukan dan diperhatikan apalagi dikenang. Itulah yang dimaksud
"segelintir keluarga Nabi".
Namun, perbedaan mencolok antara ajaran
Islam yang tulen dengan ajaran Syiah, terletak pada pondasinya. Yang kita kenal
sebagai rukun Islam dan rukun Iman. Perbedaan inilah yang prinsipil, dan
perbedaan ini pula yang sebetulnya dapat membawa Syiah sebagai agama
tersendiri, millah mustaqillah.
Ada pun pengertian "Ahli
Bid'ah" juga dapat dibedah dari dua sisi, bahasa dan istilah. Maksud
"ahli" di sini adalah "pelaku" atau "pemelihara dan
peternak" dan "bid'ah" adalah 'membuat sesuatu yang baru dalam
Islam, baik akidah maupun syariat, lalu dinisbatkan kepada agama dan diklaim
sebagai ajaran Islam yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan melaksanakannya akan
mendatangkan pahala'.
Kata "akidah san syariat"
menjadi pemisah dari bentuk bid'ah di luar itu, sebagaimana pernyataan sebagian
orang juhala dan sufaha, bahwa naik haji menggunakan pesawat adalah bid'ah.
Jelas, menggunakan pesawat adalah
bagian dari muamalat bukan akidah maupun syariat. Sekali lagi, bid'ah hanya
dapat dinisbatkan pada perkara akidah dan syariat.
Bid'ah juga bertingkat-tingkat, yang
terbesar adalah bid'ah akidah yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama
Islam dan menjadikan mereka masuk dalam kekufuran yang nyata. Contoh kongkrit
bid'ah akidah yang bermuara pada kekufuran adalah, para penganut Syiah yang
merombak asas ajaran Islam, yaitu rukun Islam dan rukun Imam.
Rukun Islam ada lima: Dua kalmiat
syahadat; mendirikan salat; berpuasa di bulan Ramadhan; mengelurkan zakat; dan
berhaji ke Baitullah jika mampu. Ada pun rukun agama Syiah meliputi: Salat,
Puasa, Zakat, Haji, dan, al-Wilayah. Ada pun rukun Iman dalam Islam, beriman
kepada Allah, beriman kepada para malaikat-Nya, kepada kitab-Kitab-Nya, kepada
para Rasul, kepada hari kiamat, dan beriman kepada qadha dan qadar. Sedang,
rukun Iman Syiah adalah, At-Tauhid, an-Nubuwah, Al-Imamah, al-Adlu, dan
Al-Ma'ad. Bahkan kalimat syahadat penganut agama Syiah pun beda dengan Islam,
sebab syahada kaum muslimin hanya terdiri dari dua kakimat, bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, sedang
Syiah selain dua kalimat syahadat tersebut ditambah lagi dengan syahadat pada
imam mereka yang dua belas itu. Perbedaan kedua rukun di atas membawa Syiah
sebagai ajaran yang penuh dengan kesyirikan, kekufuran, yang merupakan bid'ah
yang nyata.
Demikian pula dari segi Syiariat, Syiah
juga menjadi contoh nyata sebagai pelaku bid'ah syariat yang paling komplit.
Mulai dari, mengotak-atik waktu salat, hingga jumlah rakaat, dan tata caranya.
Syiah menggabungkan salat Zuhur dan Asar, Magrib dan Isya. Jadi, mereka hanya
salat tiga waktu saja. Subuh, Zuhur campur Asar, dan Magrib campur Isya, cara
itu dilakukan baik sebagai mukim, maupun sebagai musafir. Tatacaranya? Lebih
gila lagi, mereka tidak merasa sah salatnya tanpa bersujud di atas tanah
Karbala. Karena itu, setiap ingin melaksanakan salat, setiap itu pula tanah
Karbala harus disediakan. Sebuah kekonyolan yang nyata!
Mereka ini, tidak paham dengan sabda
Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Ju'ilat liayal ardhu masjidan wa
thahuran. Dijadikan bumi ini sebagai masjid bagiku, dan tanahnya adalah suci.
Eloklah kita bertanya kepada para penganut agama Syiah, apa bedanya tanah
Karbala dengan tanah Makassar?
Perlu dicatat, orang Syiah memang
menjadikan Karbala sebagai tanah suci melebihi Haramayn, Makkah dan Madinah.
Ini dapat dimaklumi karena agama mereka mengajarkan demikian, dan sudah
sepantasnya pula Karbala menjadi tujuan umat Syiah untuk menunaikan Ibadah
Haji.
Syukurlah, Wakil Presiden Republik Indonesia priode 2014-2019, M. Jusuf Kalla telah mengeluarkan pernyataan yang sangat berillian dan wajib diapresiasi, khususnya terkait masalah Syiah yang jelas-jelas menyatakan bahwa aliran ini tidak masuk dalam enam agama resmi Indonesia, termasuk Islam. Terangnya, Syiah bukan Islam. Walaupun konteks pembahasan terkait pengosongan kolom agama dalam KTP tapi, penyebutan kata "Syiah" secara jelas menandakan suatu penegasan (ta'kid) atas penegasian Syiah dari agama-agama resmi di Indonesia. Putra Bugis Bone ini dan peraih sedikitnya tujuh gelar doktor honoris causa sebagaimana dikutif Antara, menegaskan, Contohnya bukan Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu dan Konghucu. Katakanlah dia Syiah. Kosongkan saja! Katanya di Kantor Wakil Presiden Jakarta, (7/11/2014).
Pernyataan JK yang gamblang dan terang
benderang seperti sinar matahari di siang bolong itu seakan telah membuka kotak
pandora yang selama ini selalu dikunci rapat para penganut agama Syiah. Mereka terus berusaha mengelabui umat Islam agar tetap
disebut sebagai umat Islam. Padahal, hakikatnya, Syiah adalah kanker ganas
dalam tubuh umat Islam. Tidak terlihat jika ia masih minoritas, bahkan
jinak. Namun jika terus tumbuh dan berkembang akan menjadi ganas dan
menghancurkan sel-sel tubuh hingga pada akhirnya mematikan. Inilah yang
terjadi, di mana saja ada Syiah, di situ pula masalah akan selalu muncul.
Saksikanlah, di Irak, Syiria, Yaman, Pakistan, hingga di dalam negeri, seperti
kasus Sampang di Madura.
Melawan Bid'ah
Karena Syiah adalah ahli bid'ah akidah
yang telah mengeluarkan pelakunya dari tuntunan ajaran Islam yang benar, yaitu
sesuai dengan apa yang diamalkan dan diajarkan Rasulullah dan para sahabatnya,
serta generasi pendahulu umat ini, assalafus-shaleh hadzihil ummah. Maka tugas
kita semua adalah meluruskan kesalahan mereka, dengan cara-cara yang baik,
lembut bersahaja, lagi ilmiah. Bukan dengan kekerasan fisik. Karena bagaimana
pun, mereka hanyalah korban penyesatan para iblis dan syetan dari golongan
manusia. Mereka datang dari Iran dengan berkedok sebagai ulama dan ayathollah,
padahal, mereka tak lebih dari sufaha dan ulama su', yang dalam terminologi
Imam Al-Gazali sebagai ulama yang cinta dunia dan takut mati, hubbud-dunya
wakarahiyatul maut. Namun bagi saya, pada dasarnya, mereka adalah sufaha' yaitu
tidak mau menerima kebenaran, kendati kebenaran itu jelas-jelas ada di depan
matanya dan ia ketahui.
Sebagai cambuk, saya paparkan beberapa
pernyataan, perkataan, dan fatwa ulama muktabar agar segenap kaum muslimin,
memiliki kepedulian untuk membela ajaran Islam yang benar, serta bersatu padu,
bekerja sama, bukan saja sama bekerja, untuk melawan segenap penyimpangan agama
yang telah dilakukan dan terus dipasarkan Syiah yang sesat itu. Kita harus maju
ke depan menjadi kuda jagoan dalam memberantas kesesatan, sebab 'kuda-kuda
jagoan itu ada di bagian depan, sementara kuda pemikul beban itu ada di
belakang', (Ibnul Qayyem Al-Jauziyah, Al-Fawaid/hal. 51).
Al Imam Ibnu Qutaibah berkata, Hanyalah
kebatilan itu menjadi kuat dengan dia itu didiamkan, (Al Ikhtilaf Fil Lafzh).
Ada pun Ibnu Taimiyyah, ia menyatakan, Setiap kali orang yang tegak dengan
cahaya kenabian itu melemah, maka menguatlah kebid’ahan, (Majmu’ul
Fatawa/3/hal. 104).
Ibnu Wadh menyebutkan, Asad bin Musa
berkata dalam kitabnya yang ditulis kepada Asad bin Furath, Ketahuilah, wahai
Saudaraku. Bahwasanya yang menggerakkanku untuk menulis surat kepadamu ini
adalah apa yang disebutkan oleh penduduk setempatmu mengenai keshalehan yang
telah Allah anugerahkan kepadamu yang di antaranya adalah keadilanmu terhadap
sesama manusia, keadaanmu yang baik dengan menampakkan sunnah, celaanmu
terhadap ahli bid’ah dan banyaknya celaanmu terhadap mereka. Sehingga Allah
menghancurkan mereka dan menguatkan punggung-punggung Ahlus Sunnah melalui
tanganmu dan menguatkanmu di atas mereka dengan cara membongkar aib dan mencela
mereka. Maka Allah pun menghinakan mereka dengan hal tersebut. Maka mereka pun
bersembunyi dengan kebid’ahan.
Bergembiralah wahai Saudaraku dengan
pahala amalanmu tersebut. Anggaplah hal tersebut termasuk amalan baikmu yang
lebih utama dari shalat, haji dan jihad. Dimanakah keutamaan amalan-amalan
tersebut dibandingkan dengan menegakkan Kitabullah dan menghidupkan Sunnahnya?
(Ibnu Wadhdhah, Al-Bida’ wan Nahi ‘Anha /1/7).
Muhammad Al-Basyir Al-Ibrahimi
menegaskan, Wajib bagi seorang alim agama ini untuk bersemangat dalam
memberikan petunjuk ketika merebaknya kesesatan itu dan bersegera dalam
menolong kebenaran ketika dia melihat kebatilan sedang melawannya serta
menyerang kebid’ahan, kejelekan serta kerusakan sebelum menjadi kuat dan
semakin memuncak, sebelum manusia menjadi terbiasa dengannya dan meresap dalam
hati-hati mereka sehingga sulit untuk mencabutnya. Maka wajib atas seorang alim
untuk terjun ke tengah-tengah kancah sebagai mujahid, janganlah dia menjadi
orang yang tertinggal di belakang dan hanya duduk-duduk saja. Hendaknya juga
untuk berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh para pengobat pemberi nasehat di
tempat-tempat terjangkitnya wabah penyakit untuk menyelamatkan manusia dan
untuk menyadarkan orang-orang yang berada dalam kesalahan, bukannya berjalan
bersama mereka, tetapi berusaha untuk membubarkan perkumpulan mereka di atas
kesalahan tersebut.” (Al-Atsar/4/110-111).
Al Imam Ibnu ‘Asakir menyatkan bahwa
dahulu Abu Ja’far Ahmad bin ‘Aunillah adalah seorang yang senantiasa
ber-ihtisab--mengharapkan pahala--dalam bersikap keras terhadap ahlul bid’ah
dan menghinakan mereka, mencari kejelekan-kejelekan mereka, bersegera untuk
menimpakan bahaya kepada mereka, pijakannya sangat keras dengan mengusir mereka
jika bisa menguasai tanpa menyisakan. Orang yang termasuk dari mereka merasa
takut kepada beliau dan bersembunyi. Beliau tidak berbasa-basi pada
seorangpun dari mereka sama sekali, tidak berdamai dengannya. Apabila beliau
mendapati suatu kemungkaran dan menyaksikan suatu penyimpangan terhadap sunnah,
maka beliau menentangnya, membeberkan kesalahannya, secara terang-terangan
menyebut namanya, berlepas diri darinya dan mencercanya dengan sebutan
kejelekan di depan khalayak ramai, dan menyemangati masyarakat untuk
menghukumnya hingga membinasakannya atau bertobat dari buruknya madzhab dan
jeleknya akidahnya. Beliau terus-menerus berjihad seperti itu dalam rangka
mencari wajah Allah hingga berjumpa dengan-Nya, ia punya kisah-kisah terkenal
dan kejadian-kejadian yang disebut-sebut orang dalam menghadapi orang-orang
yang menyimpang”. (Tarikh Dimasyq/5/118. Biografi Ahmad bin ‘Aunillah Abu
Ja’far).
Ibnu Baz berkata, Hanyalah ahlul batil
itu bisa bekerja dan menjadi rajin manakala ilmu itu menjadi tersamar sementara
kebodohan itu muncul, bersamaan dengan kosongnya medan ini dari orang yang
berkata, Allah berfirman dan Rasulullah bersabda. Maka ketika itulah mereka
menjadi berani untuk menentang lawan dan rajin untuk melakukan kebatilan
dikarenakan tidak adanya orang yang mereka takuti dari kalangan ahlul haqq wal
iman dan ahlul bashirah. (“Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibnu Baz”/4/hal. 75’).
Al Imam Al-Wadi’ berkata, Dan
kebid’ahan itu muncul jika Ahlussunnah tidak melaksanakan penyebaran sunnah
Rosulullah--sampai pada ucapannya--maka jika sunnah itu muncul, maka sungguh
bid’ah itu akan pergi dari negeri yang di situ terdapat sunnah Rasulullah,
(Ghorotul Asyrithah/2/hal. 155-156).
Karena agungnya pahala bagi para
pemberantas kebid'ahan, terutama meluruskan dan mereduksi para pelaku bid'ah
akidah dan ibadan seperti Syiah. Maka, menindak lanjuti pernyataan Pak JK,
untuk menjadikan Syiah sebagai aliran tertentu yang tidak berafiliasi pada
Islam. Dengan itu, akan menjadi garis demarkasi antara Islam dan Syiah yang
selama ini berbaur dalam sebuah wadah namun tetap tak dapat disatukan, laksana
minyak dan air. Wallahu A'lam!
Setu-Bekasi, 11 Nop. 2014. Dimuat
Harian Cakrawala Makassar, 14 Nop. 2014.
Ilham Kadir, Peneliti LPPI Makassar, Peserta
Kaderisasi 1000 Ulama BAZNAS-DDII; Kandidat Doktor Pascasarjana UIKA Bogor.
0 komentar:
Posting Komentar