
Pernyataan mantan mahasiswa
UNM yang tidak pernah selesai-selesai kuliahnya itu, memiliki dua keluguan. Pertama,
terkait nukil-menukil. Mengamati alur bahasanya, menunjukkan bahwa saya ini
hanya mampu menukil dan tak bisa menelaah isi nukilan. Nampaknya, Ismail Amin
benar-benar jahil terkait pengetahuan tentang metode dan prosedur penulisan
sebuah karya ilmiah. Menukil pendapat orang lain bukanlah sebuah kesalahan,
apalagi jika pendapat yang dinukil itu untuk menguatkan argumen sang penulis.
Saya misalnya, menukil
pendapat Prof. Rasjidi sebagai salah satu ilmuan yang berhak dinukil
pendapatnya akan kesesatan Syiah, beliau kompeten di bidang itu, karena ia
seorang ulama alumni perdana Al-Azhar asal Indonesia sekaligus sebagai peletak
dasar Kementrian Agama RI begitu pula pendapat Prof. Mohammad Baharun yang
ditunjuk oleh MUI Pusat sebagai pakar Syiah dan juru bicara yang memiliki
otoritas terkait masalah Syiah bukan lainnya, apalagi trio shihab yang sering
mengeluarkan pernyataan menyesatkan bahwa Sunni-Syiah tidak berbeda. Bukankah,
para pengikut sekte Syiah juga kerap menyebut-nyebut nama-nama ulama tertentu
baik nasional maupun lokal untuk memperkuat argumen mereka, bahkan rada-rada
latah, yang disebut pun itu-itu saja. Jika saya dianggap kurang rasional karena
menukil pendapat orang lain untuk memperkuat argumen saya, maka para pemujia
imam, lagi latah itu tidak saja irrasional, tapi tidak punya otak alias la
ya'qil untuk digunakan dalam berfikir.
Semestinya yang
dipertanyakan masalah metodologi atau prosedur penulisan dan penelitian, apakah
memenuhi standar atau tidak, sebab sebuah penelitian yang terpenting adalah
jujur dalam mengutif, Asy-Syarastani misalnya, mengatakan Syiah sesat, lalu
saya katakan bahwa ia berkata Syiah tidak sesat, itu yang melanggar kerja-kerja
ilmiah dan dipandang sebagai aib, sebagaimana kerjaan orang-orang Syiah,
termasuk Jalaluddin Rakhmat dan para makmumnya di lppimakassar.net
Keluguan selanjutnya,
pernyataannya bahwa saya tidak mampu menentukan sikap sendiri. Sikap bagaimana?
Apakah perbedaan pendapat antara Prof. Rasjidi dan Prof. Baharun? Toh, kalau
memang demikian, sama sekali tidak mengurangi akan kedudukan Syiah sebagai
aliran sesat. Pendapat saya jelas, dari dulu hingga kini, dari ayunan hingga
liang lahad, Syiah tetaplah sekte sesat dan menyesatkan, dhal wa adhallu.
Bahkan sampai langit runtuh, air laut kering, gunung-gunung bertaburan laksana
kapas, hingga mayat-mayat di kuburan bangkit menyerang, saya tetap berkeyakinan jika para penganut
Syiah Imamiah termasuk yang dianut dan didakwahkan Ismail non Al-Amin itu sesat
dan menyesatkan.
Abdullah bin Saba’
Keberadaan Abdullah bin
Saba' dalam panggung sejarah masih debateble sampai saat ini, baik dari
Sunni maupun Syiah, tulis Ismail Amin. Diperdebatkan berarti ada yang pro dan
ada yang kontra, pihak kontra akan keberadaan Abdullah bin Saba' salah satunya
dari ulama Sunni, sebagaimana dikutif Ismail adalah Ibnu Hajar Al-Atsqalani
yang menilai riwayatnya tidak bernilai. Dan andai saja—lanjut mantan jamaah
Wahdah Islamiyah yang murtad ini—riwayat tentang Ibnu Saba' itu terang
benderang laksana sinar matahari di siang hari, meminjam istilah Ihsan Ilahi
Dhahir, maka kenapa tidak satu pun riwayat mengenainya dari kedua kitab shahih,
Bukhari-Muslim? Mengapa harus mengai-ngais keberadaan Abdullah bin Saba' dari
riwayat-riwayat dhaif dari kitab-kitab sirah yang derajat
kepercayaannya rendah di bawah Shahihain? Tanya Ismail Amin.
Membaca tulisan di atas
jika dicerna dengan baik, saling kontra dan menegasi, karena ia sendiri
mengawali tulisannya dengan menegaskan bahwa keberadaan Abdullah bin Saba'
adalah debateble alias diperdebatkan, konyolnya, di sisi lain, ia
menegaskan bahwa keberadaan Abdullah bin Saba' tidak bisa diterima karena ulama
hadis sekaliber Ibnu Hajar menyangsikan, plus tidak pernah disinggung
keberadaannya oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab hadis shahihnya
masing-masing.
Namun, benarkah jika
demikian adanya Abdullah bin Saba' benar-benar tidak pernah ada? Saya tidak
usah mengutif pendapat sana sini, dari Sunni dan Syiah tentang keberadaan
Abdullah bin Saba' karena toh sudah saya tulis keberadaannya dalam Syiah
dalam Kitab Al-Milal wa An-Nihal (http://www.lppimakassar.com/2013/11/syiah-dalam-kitab-al-milal-wa-al-nihal.html)
dan Syiah
itu Yahudi (http://www.lppimakassar.com/2013/12/syiah-itu-yahudi.html). Saya hanya
mengembalikan pernyataan Ismail Amin bahwa, sekali lagi, Abdullah bin Saba'
diperdebatkan. Dan dengan tegas saya berada pada pihak yang mengatakan bahwa
Abdullah bin Saba' bukan tokoh fiktif, dia benar-benar ada, saya percaya pada
As-Syarastani yang juga menegaskan akan keberadaannya. Dan, kalau ukuran nyata
keberadaan Abdullah bin Saba' dikukur dengan ada tidaknya dalam kitab hadis
Bukhari-Muslim, maka dengan mudah dijawab: tidak semua perkara, termasuk
sejarah yang tidak tertulis dalam hadis Bukhari-Muslim benar-benar kehadirannya
tidak pernah ada di alam nyata. Bolehlah saya berkelakar, Bukhari-Muslim itu
tidak hanya mengurusi Abdullah bin Saba', banyak perkara yang lebih mulia dan
urgen untuk ditulis.
Ismail Amin, calon
Ayatollah itu, mestinya berkata, “Saya sangat menyangsikan kewujudan Abdullah
bin Saba’, setelah saya kaji bertahun-tahun saya berkesimpulan, ia benar-benar
tokoh fiktif yang tidak pernah ada, ulama yang menulisnya adalah tidak kompeten
di bidangnya, dan keilmuannya jauh di bawah saya. Imam Ath-Thabari, Ibnu
Katsir, Ibnu Atsir, Ibnu Khaldun, Al-Isfiraini, Al-Bagdhadi, Asy-Syarastani, hingga
Ihsan Ilahi Dhahir adalah para ulama tidak dapat dipercaya dibandingkan dengan
saya yang sebentar lagi menjadi Ayatollah, dan akan kembali ke Indonesia
menyesatkan umat, saya pintar karena saya minum tolak angin. Orang pintar
seperti saya selalu minum jamu tolak angin. Mari menolak Abdullah bin
Saba’!”
Melecehkan
Ilham Qadir misalnya,
bukan saja meliburkan rasionalitasnya namun juga mengabaikan sisi
kemanusiaannya dengan melakukan pelecehan berulang-ulang terhadap siapa pun
yang berbeda pandangan dengannya. Ilham Qadir senantiasa menyebut mereka yang
masih menyebut Syiah sebagai mazhab dalam Islam dan pengikutnya adalah muslim juga sebagai orang-orang
tolol, jahil mirakkab, sufaha, dan ulama su' (jahat), tulis Ismail Amin.
Sungguh ajaib jika
orang yang menjadikan Majelis Ulama Indonesia dan Departeman Agama RI sebagai patokan
dalam menentukan sesat tidaknya sebuah ajaran dan aliran keagamaan disebut
'meliburkan rasionalitas'. Sejatinya di Indonesia, dalam menentukan status
sebuah aliran, sesat atau tidak, atau penetapan hukum syariah, halal atau
haram, semua merujuk pada MUI, dan jika ada golongan atau individu yang
menyelisihi lembaga MUI dan Depag justru merekalah yang harus digolongkan
sebagai La ya'qilun, irrasional, tidak berakal atau lebih halusnya tidak
mau menggunakan akalnya dengan bersandarkan kepada kata hati dan wahyu ilahi.
Ismail Amin, masuk dalam sempalan ini.
Kecuali itu, saya
dituduh 'mengabaikan sisi kemanusiaan' dan melakukan pelecehan terhadap siapa
pun yang berbeda pandangan dengan saya. Setau saya, selama ini, hanya
mengatakan bahwa siapa pun yang tidak menyatakan Syiah (Rafidhah) sesat dan
menyesatkan, saya anggap sebagai jahil murakkab, supaha, hingga ulama su'.
Namun saya tidak pernah menyebut, nama ini dan itu, ulama sini atau sufaha
sana, grand-ayatollah atau grand-master, guru besar atau guru kecil, anre-guru atau
anre-nanre, mufassir atawa muhaddits, mudarris atau mu'allim. Jika ternyata ada
nama-nama tokoh tertentu yang dihubung-hubungkan dengan tulisan saya, maka
itulah kerja-kerja kreatif Ismail Amin dan lppi gadungan (lppimakassar.net), dan saya tidak tau-menau dan memang tidak
mau tau masalah nama itu, serta berlepas diri dari makar mereka.
Adalah tindakan
hina-dina jika harus menjual nama tokoh-tokoh tertentu demi melegitimasi dan
menjustifikasi kesesatannya. Lalu mengemis-ngemis di depan mereka sambil
membenturkan antara saya dengan lainnya. Ini adalah namimah atawa
adu-domba yang mencukur dan memotong sendi-sendi agama. Amalan ini kesukaan
iblis dan ikhwanus-syayathin, konco-konco setan. Hingga saat ini, saya
masih akrab dan sering bergaul dengan tokoh-tokoh yang kerap dicatut namanya
berulang-ulang oleh lppi gadungan, dan, masih dijadikan oleh Komisi Informasi
dan Komunikasi MUI Sulsel sebagai wartawan dan kontributor tetap di Majalah
Panji Umat serta media on line-nya MUI, juga masih sering dipakai oleh
ICMI Orwil Sulsel, dan telah masuk dalam jajaran kepengurusan Forum Ukhuwah
Islamiyah (FUI), BKPRMI dan KPPSI. Saya pribadi tidak pernah ada masalah dengan
tokoh siapa pun, bahkan suatu ketika saya bincang-bincang dengan Prof. Hamdan
Juhannis, dan dengan tegas saya menyatakan akan kesesatan Syiah berdasarkan
fatwa MUI Jatim, beliau menghargai saya, dan jika ada yang menyelisihi maka
lawanlah dengan tulisan.
Jika saya dianggap
meliburkan rasionalitas dan melakukan pelecehan terhadap ulama su’ pro Syiah, maka eloklah jika dibandingkan dengan
tulisan Ismail Amin di harian Tribun Timur, Jumat 24 Oktober 2008,
dengan tajuk “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait”, ia menulis,
“Saya sulit menerima
jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat pasca Rasul jatuh ke tangan
para sahabat, sementara untuk contoh sederhana, sahabat sendiri berbeda
pendapat bagaimana cara Rasulullah melakukan wudhu dan salat yang benar,
padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka… Ataupun
tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk
sekedar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja
sulit menemukan kesepakatan... Karenanya
hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti
yang dimiliki Nabi Muhammad saw… juga berpotensi mendapat ilmu langsung dari
Allah swt, ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti
Maryam dan ibu nabi Musa as [Lihat Qs. Ali Imran :42, Thaha: 38]. Mereka
menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga
ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam…
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadis
Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul
Baitku. [HR Muslim]. Bahwa keduanya Al-Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang
tak terpisahkan hingga hari kimat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah
kesesatan dan diluar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.”
Mencermati petikan
tulisan Ismail di atas, saya yang pernah belajar epistemologi fikih, atau ilmu
ushulul-fiqh, yang disebut dengan metode mafhumul-muwafaqah—sebuah metodologi untuk memahami makna utama sebuah
teks—dengan mudah menarik sebuah kesimpulan, karena para sahabat dan imam
mazhab tidak dipercaya menjelaskan ajaran Al-Qur’an pasca Rasul wafat, maka
satu-satunya yang dipercaya adalah para Ahlul Bait yang ajarannya tidak
mengandung perselisihan dan percekcokan, dan jika tidak merujuk ke Ahlul Bait
yang jumlahnya hanya segelintir orang itu, maka sesat dan menyesatkan. Lebih
jelasnya Ahlussunnah yang lebih banyak merujuk ke non Ahlul Bait adalah sesat,
lebih khusus lagi umat Islam di Indonesia yang Ahlussunnah adalah tidak hanya
sesat-menyesatkan tetapi Islam yang dianut dan dipraktikkan adalah agama palsu,
Syiah-lah yang layak disebut Islam hakiki karena merujuk ke para Ahlul Bait,
terutama para imam yang 12 itu.
Saya akan jungkirkan
kesesatan penulis dan tulisannya dengan mengutif pendapat Gurutta Sanusi Baco’
yang saya wawancarai beberapa waktu lalu sebagai bahan autobiografinya,
kebetulan saya ditugaskan oleh MUI Sulsel untuk ‘menggali pemikiran keagamaannya’. Nah, salah satu poin pembahasan
adalah menyikapi perbedaan, apa saja yang bisa berbeda dan apa yang tidak.
Karena Ismail Amin menyinggung hanya pada perbedaan pandangan para sahabat dan
ulama mazhab pada tataran syariat, maka fokus tanggapan juga pada ranah
tersebut. Terkait tentang tauhid ‘uluhiyyah, rububiyah, dan asma’
was-shifat atau al-ushul ats-tsalatsah, yang meliputi: ma’rifatullah,
ma’rifaturrasul, dan ma’rifah dinil islam memiliki ruang dan
pembahasan khusus.
Pandangan Ismail Amin,
bahwa ‘sahabat Nabi sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasulullah
melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan
salat bertahun-tahun di hadapan mereka’ menunjukkan kejahilannya dalam memahami
perbedaan yang diperbolehkan. Firman Allah, “Idza
kuntum ila as-shalati fa-agsilu wujuhakum wa aediyakum ila al-marafiq wa-amsakhu
biru’usikum wa arjulakum ila al-ka’bain. Apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).
Kata “Wa amsakhu
biru’usikum..., [basuhlah atau sapulah kepalamu...], dalam pandangan Gurutta Sanusi Baco, para
ulama tidak boleh berbeda pendapat tentang kewajiban membasuh kepala ketika
berwudhu, dan semuanya telah sepakat akan itu dan tidak satupun ulama
mengatakan kalau membasuh kepala hukumnya sunnah. Namun boleh berbeda pendapat tentang kadar
yang disapu pada bagian kepala ketika berwudhu, bisa semunya, dan bisa pula
hanya sebahagiannya. “Jidat, ubun-ubun, telinga, adalah bagian dari kepala”, tegas
Gurutta.
Masih mengutif pandangan Ketua MUI Sulsel itu,
menurutnya, dalam ilmu syariah, perbedaan pendapat terjadi karena beberapa
sebab, dalam ayat Al-Qura’an memang terbagi dua, ada yang qath’i ad-dilalah,
dan ada yang zhanni ad-dilalah. Yang pertama adalah semua ayat yang ada
dalam Al-Qur’an hanya mengandung satu makna, dalam hal ini ulama tidak boleh
beda pendapat, tapi harus semuanya sama. Semua ayat yang berbicara tentang
warisan misalnya, tidak boleh ada perbedaan pendapat karena ayat-ayat tersebut
menggunakan angka-angka. Contoh firman Allah, Walakum nishfu ma taraka
wazwajukum. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, (QS. An-Nisa’ [4]: 12). Sesepuh NU itu, menegaskan, ulama
tidak boleh beda pendapat dalam mengartikan kata ‘nishf’ yang berarti ‘setengah’
atau ‘seperdua’ [1/2], dan jika ada orang dikatakan ulama yang
mengatakan bahwa ‘nishf’ adalah ‘seper tiga’ atau ‘seper empat’ maka
pasti dia bukan ulama tapi orang jahil [bodoh], termasuk pula yang menyamakan
pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, yang telah ditetapkan oleh
Allah perbedaanya, bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu banding dua, bukan
satu banding satu. Ada pun zhanni ad-dilalah sebagaimana contoh di atas
tentang kadar kepala yang harus disapu ketika berwudhu.
Terlalu banyak jika saya harus utarakan di sini
satu per satu apa yang dipaparkan ulama yang pernah berguru di Al-Azhar Mesir
sama dengan Gus Dur itu. Maksud utama petikan pendapat Gurutta terkait
perbedaan pandangan di kalangan ulama Ahlussunnah adalah ada rambu-rambunya,
bukan sebagaimana tuduhan Ismail Amin yang melakukan rampatan—kalau tidak paham
artinya, cari di kamus. Tentu saja ini adalah sebuah ketololan yang tidak bisa
diterima. Apalagi jika hanya karena perbedaan sepele masalah sapau-menyapu
bagian kepala, lalu mencela sahabat Nabi yang perjuangannya tidak bisa
dibandingkan dengan apa pun, termasuk, jika Ismail mampu menyulap seluruh
gunung dan air laut di Bulukumba menjadi Emas lalu menginfakkan seluruhnya demi
menyaingi perjuangan Abu Bakar, Umar, dan Utsman—radhiallau ‘anhum—tidak akan
pernah sama.
Kesontoloyoan Ismail tidak berhenti di situ,
selain menyangsikan keilmuan dan keshahihan bahkan kemutawatiran
pendapat para sahabat Nabi yang sebagian telah dijamin masuk surga, minal
mubasy-syirîn bil-jannah, ia juga menghina dan melecehkan para ulama mazhab
yang katanya, ‘dalam menafsirkan debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan
kesepakatan’. Pernyataan ini jelas hanya layak terungkap dari orang-orang
sufaha dan jahil kuadrat. Dia belum pernah membaca kitab-kita ulama yang penuh
dengan ragam pendapat, semisal Subulussalam, Jami’ Ayatul Ahkam,
daftarnya terlalu panjang. Padahal sha’id selain debu, dapat juga
diartikan ‘kullu ma sha’ada minal ardhi’, apa saja yang terletak atau
tumbuh di atas tanah, dengan catatan suci lagi mensucikan, tanah, debu, kayu,
batu, dst., tapi harus diakui memang, jika persepsi suci dalam terminologi
Ahlussunnah dan Syiah berbeda. Syiah menganggap bahwa kotoran ‘maaf’ berak para
Imam adalah suci-mulia, sementara Ahlussunnah berpendangan bahwa itu adalah
najis.
Pria yang sampai
sekarang belum mampu menghafal Surah Al-Baqarah secara utuh ini, memang ajaib.
Dengan keilmuannya yang tidak jelas begitu, tetapi sudah jumawa menyangsikan
dan tidak percaya kepada para ulama sekaliber Imam Syafi’i yang di bulan puasa
dua kali khatam membaca Al-Qur’an dalam 24 jam, belum disebutkan
ragam keilmuannya yang lain, termasuk kemampuannya menciptakan epistemoilogi
fikih yang kita sebut sebagai ilmu ushulul fiqh. Kecuali itu, harus diakui
bahwa Ismail Amin sudah mampu juga bikin ilmu baru. Ilmu mencela sahabat dan
para ulama mazhab.
Jika saya dikatakan
meliburkan rasionalitas dan dan mengabaikan sisi kemanusiaan karena kerap
mencela ulama-ulama pendukung sekte Syiah. Lalu bagaimana pula dengan Ismail
Amin yang menyangsikan keilmuan para ulama mazhab dan mendiskreditkan para
sahabat Nabi. Tentu bukan lagi meliburkan rasionalitas, tapi tidak punya rasio
alias otaknya di dengkul, plus bukan lagi mengabaikan sisi kemanusiaan tapi
sudah menjelma menjadi setang makkaju atawa manusia berwujud menjadi
setan. (Bersambung)
Enrekang, 03 Januari
2014.
(Ilham Kadir/lppimakassar.com)
3 komentar:
ahsanta..barokallaahu fiikum
ahsan, kalimat ini baiknya diedit-—lanjut mantan jamaah Wahdah Islamiyah yang murtad ini— menghindari mispersepsi. syukron
berapi-api betul.
Posting Komentar