
Bismillahirrahminirrahim
Muqaddimah
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya akan membawakan dan
memaparkan satu materi yang sebagaimana yang diantarkan tadi oleh bapak moderator berusaha untuk lebih
menukik pada tema utama yang kita angkat pada kesempatan ini. Kalau tadi Bapak
Prof. Baharun telah menjelaskan tentang bagaimana semestinya kita Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang mewariskan kemurnian Islam dari Rasul secara serius berusaha
untuk mengembangkan ukhuwah islamiyah di antara kita.
Tidak mengapa saya sampaikan bahwa saya alumni pesantren modern IMMIM,
dan dahulu KH. Fadli Luran, memiliki dan mengajarkan kepada kami satu ajaran
serta semboyan yang sangat bagus untuk selalu kita hidup-hidupkan, yang menjadi
trade mark tersendiri bagi IMMIM dan juga alumni-alumninya, yaitu ungkapan yang
mengatakan “Bersatu dalam akidah, toleransi dalam furu’ dan khilafiyah” dan
semenjak saya setingkat smp-sma, terus terang ungkapan ini sudah sangat sering
saya dengar, tapi mungkin waktu itu karena persoalan usia, belum mampu saya
pahami secara tepat dan mendalam apa makna tersebut.
Tetapi justru setelah saya pergi belajar ke madinah, ke kota
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana Nabi mendidik murid-muridnya,
generasi pertama dari umat ini, murid-murid yang dibimbing langsung oleh guru
terbesar yang pernah ada dalam sejarah umat manusia, maka subhanallah, saya
bisa memahami dengan benar dan saya bisa memahaminya secara mendalam, betapa
tepat apa yang telah beliau ajarkan kepada kami dahulu itu “Bersatu dalam
akidah, toleransi dalam furu’ dan khilafiyah”.
Kalau kita menginginkan persatuan, maka kunci persatuan itu adalah pada
akidah ahlusunnah wal jamaah, dan kalau kita ingin mengembangkan sikap
toleransi, lapang dada dan terbuka terhadap perbedaan-perbedaan, maka itu bisa
kita lakukan apabila itu terjadi dalam wilayah-wilayah furu’ dan khilafiyah.
Saya juga teringat betapa Imam Darul Hijrah, Imamnya kota Madinah,
Imam Malik Rahimahullahu ta’ala, tiga kali berturut-turut khalifah yang pernah
memerintah Khilafah Abbasiyah pernah menawarkan kepada beliau untuk menjadikan
kitab Muwaththo’ ini sebagai kitab resmi hukum negara, mereka mengatakan -jadi
tiga khlaifah berturut-berturut menawarkan kepada Imam Malik-, “Wahai Imam
Malik, bagaimana kalau kitab yang engkau karang itu, kitab Muwaththo’ yang
berisikan tentang Furu’ Fiqhiyyah berbicara tentang hukum-hukum cabang saya
tetapkan sebagai ketentuan yang mengikat seluruh masyarakat Islam yang di atas
permukaan bumi ini” karena dahulu Cuma ada khilafah Islamiyah, belum ada
negara-negara bangsa akibat penjajahan yang kita saksikan pada hari ini.
Dalam setiap kesempatan tersebut Imam Malik rahimahullahu ta’ala
selalu menolak dan mengatakan, “wahai khalifah, sesungguhnya orang-orang yang
sudah tersebar, kaum Muslimin yang ada ini mereka telah mendengar hadis-hadis
tentang persoalan-persoalan furu’iyah, tentang persoalan-persoalan fiqh,
cabang-cabang hukum yang mungkin saja tidak didengar oleh sahabat-sahabat yang
lain, oleh kaum Muslimin yang ada pada tempat-tempat yang lain, yang ada di
wilayah Islam yang lain, maka wahai khalifah saya tidak ingin jangan sampai kemudian kebijakan untuk
menyatukan seluruh kaum Muslimin dalam satu hukum ini justru akan menimbulkan
kemudharatan yang saya pandang bahwa biarlah orang-orang itu berbeda pendapat
sesuai dengan apa yang mereka pelajari yang penting masing-masing mengamalkan
sesuai dengan hadis yang sampai pada mereka”, seakan-akan Imam Malik
mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan dalam furu’iyah itu adalah hal biasa,
sebagaimana hal itu terjadi pada zaman Nabi saw, terjadi pada zaman sahabat,
terjadi pada saat ini, maka biarlah dia menjadi realitas sepanjang sejarah.
Akan tetapi, kita melihat bahwa walaupun Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal berbeda pendapat dalam
persoalan furu’iyah, tidak pernah kita mendengar bahwa Imam Abu Hanifah
misalnya menganut faham Syiah, tidak pernah kita mendengar bahwa Imam Malik
menganut paham Inkarus Sunnah, tidak pernah kita mendengar bahwa Imam Ahmad
menganut paham pluralism agama, tidak pernah. Kenapa? Karena memang mereka
bersatu dalam akidah, toleransi dalam furu’ dan khilafiyah.
Inilah saya tekankan kembali bahwa justru setelah saya kembali
menyelesaikan pendidikan saya di kota Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
saya bisa merasakan betapa dalam ajaran dari guru kami dahulu, KH. Fadli Luran.

Terdapat Racun Dalam Keindahan Retorika Jalaluddin Rakhmat
Pada kesempatan ini saya akan membahas dan mengangkat pemikiran salah
seorang tokoh yang sangat jamak dikenal di masyarakat kita sebagai tokoh yang
getol mempropagandakan paham Syiah.
Tahun 1998, 1992, 1993, 1995, pembaca tentu sangat ingat kondisi
pada saat itu, penerbit Mizan dengan buku-bukunya, revolusi Iran, Islam Aktual,
Islam Alternatif, dan seterusnya. Terus terang ketika saya di persantren saya
juga termasuk pembaca berat buku-bukunya Jalaluddin Rakhmat. Sebelum saya tamat
pesantren saya beli bukunya “Retorika Praktis”, kenapa? Karena memang bahasanya
bagus. Dan kalau kita membaca bukunya seakan-akan kita dibawa mengalir oleh
sebuah arus air, akan tetapi pembaca sekalian, setelah semakin lama saya
belajar Islam bahkan jauh-jauh harus pergi meninggalkan orang tua, keluarga,
meninggalkan kawan-kawan, dan guru-guru yang ada di sini, belajar di kota
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saya semakin faham, bahwa dalam
keindahan retorika yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam kesejukan
yang kadang-kadang diselipkan dalam judul buku-bukunya sebenarnya terdapat
racun yang sangat berbahaya bagi kelangsungan dan kehidupan bermasyarakat kita
di negeri kita yang sama-sama kita cintai ini.
Mengungkap Kedok Jalaluddin Rakhmat
Saya langsung saja masuk ke dalam poin-poin yang ada,
1.
Melakukan Plagiarisme dan Manipulasi Data
semakin
lama saya banyak membaca buku-buku Jalauddin Rakhmat saya mendapati bahwa “tokoh
kita” ini melakukan plagiarisme, menjiplak karya orang lain tanpa menyebutkan
sumbernya secara tepat, sehingga seakan-akan kalau orang awam yang membaca
apalagi –mohon maaf- orang yang tidak memiliki misalnya wawasan bahasa arab
yang memadai maka ia akan menduga bahwa karya tersebut adalah orisinil karya
Jalaluddin Rakhmat. Padahal sebenarnya tidak perlu untuk menjadi cendikiawan, cukup kita memiliki
kemampuan untuk mengotak-atik dan browsing di internet kita akan tahu bahwa
sebagian di antara karya-karya Jalaluddin Rakhmat itu diambil dari buku-buku
yang sebenarnya bisa diakses secara terbuka di internet. Begitu juga dengan manipulasi data. Makalah-makalah
yang ditulis Jalaluddin Rakhmat dalam beberapa kesempatan yang beliau datang di
kota Makassar ini, saya dapati bahwa terjadi pemutarbalikan fakta.
Sebenarnya
kalau kita mau menggunakan logika praktis. Sangat sederhana. Kalau dikutip dari
Ibnu Katsir, dikutip dari Imam An-Nawawi, dikutip dari Imam Al-Qurthubi,
dikutip dari Imam Ibnu Hazm yang kemudian mengangkat persoalan-persoalan atau
mengangkat argumentasi-argumentasi yang seakan-akan mendukung paham Syiah,
tentu saja pertanyaannya, kalau memang argumentasi itu benar lantas kenapa Ibnu
Katsir tidak menganut paham Syiah?, lantas mengapa Imam An-Nawawi tidak
menganut paham Syiah?, lantas kenapa Imam Bukhari tidak menganut paham Syiah?,
kalau memang argumentasi itu benar.
Di
sini saya mengungkap satu contoh saja, buku “Al Mushthafa”, buku ini ditulis oleh
Jalaluddin Rakhmat, ini saya fotocopy dan saya ambil dari internet, buku “Al
Mushthafa, Manusia Pilihan Yang Disucikan” terbit April 2010, buku ini pembaca
sekalian isinya banyak mengutip dari buku yang lain, silakan akses di
mezan.net, pembaca bisa akses, kemudian di bagian “Maktabah” akan ada buku yang
judulnya “Ash-Shahih Min Siirati An-Nabiyy Al-A’zham”, buku ini ditulis oleh
pengasuh situs tersebut, nah buku ini saya teliti, karena sebenarnya sudah lama
kami kaji, banyak di antara ide dasar serta kutipan-kutipan dari buku ini sebenarnya
diambil dari buku yang ada di dalam situs tersebut, bukan cuma ide dasarnya, bahkan catatan kakinya,
dan yang lucu adalah, kadang-kadang pengutipan catatan kaki itu terjadi
kesalahan.
Sendainya
kabel sampai pada LCD saya bisa tunjukkan, karena buku ini berbentuk PDF jadi
tidak bisa diubah-ubah.
Kutipan
yang sama, cerita yang sama, dari buku yang sama, tapi keliru dalam menulis
catatan kaki, pada penulisan halamannya, bukunya sama, nah, halaman dari buku
tersebut keliru dalam pengutipannya, ya mungkin buru-buru karena ingin segera
dicetak, dalam buku Ash-Shahih, jilid 1, hal 29, disitu tertulis “Bahwasanya
Amr bin Ash tidak rela ketika ada seorang Nasrani dipukul karena mencela Nabi”
sebenarnya pembaca sekalian, kisah-kisah seperti ini dalam buku-buku hadis
sangat banyak. Makanya ulama kita dahulu dalam menulis hadis-hadis dalam kitab
mereka mencantumkan sanad. Sebenarnya pencantuman sanad-sanad ini oleh ulama
hadis adalah pesan kepada kita, bahwa jangan serta merta menelan satu berita,
satu informasi, satu riwayat kecuali setelah kita memeriksa sanadnya. Dan
memeriksa sanad ini pembaca sekalian adalah pekerjaan berat.
Saya
punya pengalaman di semester yang lalu, kuliah di Malik Su’ud, kami diberi tugas
oleh salah seorang professor kami untuk mentakhrij 20 hadis, salah seorang
kawan saya dari Saudi ketika hari kuliah mengatakan kepada saya, “Pekan ini
berubah jadwal tidur saya, tidak alami lagi tidur saya” kenapa? Karena
kadang-kadang untuk mentakhrij sebuah hadis menghabiskan tiga hari untuk mentakhrij
satu hadis, sementara waktu itu kami diberi tugas mentakhrij 20 hadis. Ini
adalah salah satu tugas yang sangat berat kami rasakan.
catatan
saya; Jadi sebuah riwayat tidak bisa diterima begitu saja, kalau hanya
cerita-cerita seperti ini yang kita cari, banyak akan kita temukan pembaca
sekalian, namun pertanyaannya, apakah cerita itu bisa diterima atau tidak? Itulah
juga gunanya ulama kita mencantumkan sanad agar kita bisa memeriksa secara
obyektif, apakah cerita ini, apakah hadis ini, apakah atsar ini bisa kita
jadikan dalil landasan argumentasi atau tidak.
Saya
lanjutkan, jadi cerita ini disebutkan dalam buku Ash-Shahih min sirati
An-Nabiyy Al-‘Azham jilid 1 hal 29, dan juga disebutkan dalam buku ini,
Al-Mushthafa. Maaf saya malas beli bukunya, saya copy bagian-bagian yang
penting saja, sayang kalau harus menyimpan di rak buku saya buku-buku yang
isinya dikutip dari buku-buku yang lain tanpa menyebutkan sumbernya secara
benar. Kisah yang sama di sebutkan dalam buku Al-Mushthafa ini halaman 29,
kisah yang sama, di catatan kaki , disini disebutkan, “Al-Isti’ab, Mathbu’ bihamisy
Al-Ishabah, juz III, hal 193 dan buku Al-Ishabah, Juz III hal 195”.
Apa
yang terjadi pembaca sekalian, dalam buku ini penulisnya mengatakan “Buku Al-Isti’ab,
juz III hal 193 dan 195”.
Jadi
kalau dalam sumber asli disebutkan dua buku dan disebutkan dua halaman, namun
dalam catatan kaki buku Al-Mushthafa ini Cuma disebutkan satu buku, akan tetapi
dua halaman yang berbeda, kita saja yang tidak perlu repot-repot membaca buku
aslinya bertanya-tanya, kok bisa satu kutipan disebutkan dalam dua tempat,
itukan tidak mungkin, kecuali ada sesuatu yang sangat luar biasa, tapi itukan
terjadi pengulangan, tidak perlu kita membaca teks aslinya yang bahasa arab,
kita sudah bisa menganalisa, bagaimana bisa sebuah cerita diulangi di dua
tempat pada dua halaman yang berbeda, setelah saya rujuk ke buku aslinya memang
tidak sama, dari dua buku yang berbeda dan dari dua buku yang tidak sama untuk
satu cerita yang persis sama, ini salah satu contoh saja dan tentu tidak cukup
waktu kalau saya mau memparkan semuanya.
Manipulasi
Data
Kalau
di laptop saya ini ada tulisan tentang makalah yang pernah disampaikan oleh Jalaluddin
Rakhmat dalam sebuah pertemuan di Makassar ini juga yang bercerita tentang Ayatul
Mawaddah secara singkat saja saya sampaikan, bahwa Ayatul Mawaddah ini
disampaikan oleh Jalalauddin Rakhmat untuk mendukung paham atau pendapat yang
ia propagandakan bahwa kita umat Islam disuruh oleh Allah subhana wata’ala untuk
berbuat baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mencintai
keluarganya, ayatnya, “Dzalikalladzi yubasysyirullahu ibadahulladzina amanu wa
amilush shalihati, qul la as’alukum alaihi ajra illa mawaddata fil qurba, wa
man yaqtarif hasanatan nazid lahu fiha husna, innallaha ghafurun syakur ”
Jalaluddin Rakhmat menerjemahkan ayat ini sebagai berikut, “Itulah karunia yang
diberitahukan Allah untuk menggembirakan hamba-hambaNya yang beriman dan
mengerjakan kebajikan, katakanlah wahai Muhammad, aku tidak meminta kepadamu
sesuatu imbalan apapun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku” ini
disebutkan dalam makalahnya di halaman 4, jadi Jalaluddin Rakhmat
menerjemahkaan bahwa Nabi saw meminta kepada kita kaum Muslimin agar supaya
membalas kebaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan risalah
Allah subhana wata’ala dengan mencintai keluarga Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam.
Terjemah
ini pembaca sekalian bertentangan dengan terjemahan Departeman Agama, jadi kita
belum melangkah ke kitab-kitab Bahasa Arab, ini baru yang bahasa Indonesia saja
sudah berbeda, kalau dalam terjemahan Departemen Agama edisi terbaru 2002,
disebutkan di dalamnya, “Katakanlah wahai Muhammad, aku tidak meminta kepadamua
suatu imbalan apapun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”
jadi bukan ‘Mencintai keluargaku’ akan tetapi ‘Kasih sayang dalam kekeluargaan’
kenapa? Karena memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki hubungan
kekeluargaan dalam masyarakat beliau, Nabi shallallahu alaihi wasallam bukan
makhluk planet yang diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala, beliau adalah
manusia biasa yang lahir dari sebuah keluarga besar Quraisy, sehingga tidak ada
satu pun sebenarnya simpul-simpul induk hubungan keluarga di Makkah melainkan
memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang
saya maksud manipulasi data dalam hal ini pembaca sekalian adalah bahwa
Jalaluddin Rakhmat mengutip dari tafsir Ibnu Katsir, dan juga Fathul Qadir oleh
Imam Asy-Syaukani, dan setelah saya memeriksa kedua tafsir tersebut, memang
benar bahwa, Imam Ibnu Katsir menyebutkan pendapat sebagaimana yang disebutkan
oleh Jalaluddin Rakhmat itu, yaitu ‘Cintailah keluargaku’, akan tetapi pembaca
sekalian, bukan dalam konteks untuk membenarkan pendapat itu, akan tetapi
justru dalam konteks untuk menyalahkan dan melemahkan pendapat tersebut.
Jadi
kalau kita belajar sedikit metodologi penelitian ilmiah saja, ini adalah sikap
yang tidak jujur, seakan-akan Ibnu Katsir berpendapat seperti itu, padahal
sebenarnya memang benar Ibnu Katsir menyebutkan pendapat itu, akan tetapi bukan
dalam rangka untuk mendukung pendapat itu, tapi justru dalam rangka untuk
melemahkan pendapat itu, sehingga sangat wajar pembaca sekalian kalau kemudian ulama-ulama
kita yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam versi bahasa Indonesia kemudian
menggunakan terjemahan sebagaimana yang terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir,
bukan sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat.
Banyak
lagi contoh-contoh yang kiranya bisa kita angkat pada kesempatan-kesempatan yang
lain.
2.
Jalaluddin Rakhmat telah mempublikasikan karya tulis dalam bidang
keilmuan yang tidak dia kuasai sama sekali, sehingga dapat menimbulkan
kerancuan dan menyesatkan masyarakat
Saya, pembaca sekalian, tidak perlu tamat madinah, semester satu
saja di Madinah, sudah bisa menilai buku ini. Dalam banyak riwayat-riwayat,
misalnya dikutip dari Syarah Nahjul Balaghah, ini Nahjul Balaghah pembaca
sekalian, waktu SMA sudah tamat saya baca, jadi terus terang untuk persentasi
ini tidak perlu saya baca lagi, karena buku ini pernah saya baca dulu. Tapi apa
kata Ulama kita tentang Nahjul Balaghah ini, Nahjul Balaghah ini dinisbatkan
kepada Al-Murtadha Abu Thalib Ali bin Husain bin Musa Al-Musawi yang wafat pada
tahun 436 H.
Imam Adz-Dzahabi –kalau kita belajar hadis, beliau adalah seorang
ulama Al-jarhu wa At-Ta’dil pada masanya. Beliau punya buku Tarikhul Islam
berjilid-jilid, beliau juga punya buku Siyar A’lam Nubala berjilid-jilid,
beliau punya buku Mizanul I’tidal berjilid-jilid- beliau berkata tentang
Murtadha,
هو جامع كتاب نهج البلاغة المنصوبة ألفاظه إلى الإمام علي رضي الله
عنه ولا أسانيد لذالك وبعضها باطل وفيه حق ولكن فيه موضوعات حاش الإمام من نطق بها
“Dialah adalah tokoh yang dinisbatkan kepadanya kitab Nahj al
Balaghah dan bahwa dialah yang menyusun kitab tersebut, yang mana isinya,
materinya dan kontennya dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib ra. akan
tetapi sayang buku ini tidak ada sanadnya! –Apa artinya ‘tidak ada
sanadnya?’, seakan-akan Murtadha ini mendengar langsung dari Ali bin Abi Thalib
yang hidup pada abad pertama hijriyah, sementara dia meninggal pada abad kelima
hijriyah, ini kan tidak mungkin, mustahil bin mustahil, makanya Abdullah bin
Mubarak mengatakan, ‘Seandainya bukan karena isnad, maka semua orang bisa
ngomong sesuai dengan apa yang dia inginkan’, itulah manfaatnya sanad, tidak
semua orang berbicara, kita mengambil agama ini warisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, yang mana warisan itu bisa kita buktikan kesinambungan orang-orang
yang meriwayatkan sabda itu sampai langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam- Sebagiannya bathil, walaupun sebagiannya juga mengandung kebenaran, -inilah
contoh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah bersikap adil, bahwa kalau dilihat dari
segi isi dan kandungannya, ada yang benar dan ada juga yang keliru- akan
tetapi di dalamnya banyak sekali kepalsuan yang mustahil Imam Ali bin Abi
Thalib mengatakan atau mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti itu.”
Ada juga yang mengatakan bahwa buku itu ditulis oleh saudaranya
Asy-Sayrif Ar-Ridha, intinya pembaca sekalian, Imam Adz-dzahabi, imam Al-Jarh
wa At-ta’dil, imam dalam ilmu hadis ini mengatakan bahwa buku itu ditulis oleh
seseorang yang tidak ada hubungan langsung berguru antara dia dengan Ali bin
Abi Thalib, sehingga kalau ia mengutip langsung dari Ali bin Abi Thalib itu
mustahil, baik secara logika maupun secara ilmu hadis, karena tidak mungkin manusia
yang wafat abad kelima hijriyah mendengar langsung khutbah-khutbah manusia yang
hidup di awal abad pertama hijriyah.
Apakah cuma Imam Adz-Dzahabi yang mengatakan seperti itu, tidak
pembaca sekalian, akan tetapi juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya
Al-Jami’ Li Akhlaq Ar-Rawi wa Adab As-Sami’, juga disebutkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, juga disebutkan oleh DR. Shalih Al-Fauzan dan seterusnya,
artinya pembaca sekalian, ulama-ulama dunia telah mengakui bahwa kitab Nahjul
Balaghah ini tidak bisa dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, walaupun mungkin
kita baca bagus bahasanya, enak bahasanya.
Kalau kita belajar bahasa arab pembaca sekalian, kitab Nahjul
Balaghah terdapat di dalamnya banyak sekali sajak, sajak artinya
ungkapan-ungkapan syair yang ujung-ujungnya sama, ini sama seperti kita di
pendidikan dasar dahulu belajar tentang sajak dan puisi klasik bahasa
Indonesia, ujung-ujungnya sama, sementara siapa pun yang belajar bahasa arab
itu faham bahwa metode bahasa arab yang menggunakan sajak yang berlebihan
seperti ini bukan tradisi orang-orang arab awal zaman sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, silakan kita baca buku bahasa arab apa saja dan kita
bandingkan perkataan-perkataan sahabat dengan perkataan-perkataan ulama
belakangan, kita akan tahu salah satu perbedaannya, ungkapan-ungkapan sahabat
itu tidak dihiasi dengan retorika yang muluk-muluk, sederhana, mudah, akan
tetapi cepat masuk di hati dan akal, sementara perkataan-perkataan belakangan kadang-kadang
dibuat indah, penuh dengan retorika akan tetapi tidak memiliki bobot makna yang
mendalam.
Sebuah karya ilmiah seharusnya tidak menjadikan kitab Nahjul
Balaghah sebagai kitab refrensinya.
3.
Tidak
Mengkonfirmasikan Klaim Hasil Penelitiannya Dengan Hasil Penelitian
Ulama-ulama Otoritatif Di Bidangnya
Dalam buku ini pembaca sekalian banyak sekali kesimpulan-kesimpulan
yang seakan-akan Jalaluddin Rakhmat-lah yang sampai pada kesimpulan tersebut.
Ini luar biasa. Islam ini sudah lima belas abad. Apakah Jalaluddin Rakhmat
orang yang pertama kali membaca Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi? Apakah dia yang
pertama membaca Shahih Bukhari-Shahih Muslim? Sehingga dia bisa sampai pada
kesimpulan-kesimpulan yang tidak pernah sedikit pun terbesit dalam benak
ulama-ulama sebelumnnya. Mustahil bin mustahil.
Kalau kita melakukan studi di negara-negara timur tengah. Kenapa
studi pascasarjana sangat sulit selesai? Salah satu di antara sebabnya adalah
karena kita sangat sulit mengemukakan suatu pendapat, kecuali kita dituntut
untuk melacak apakah pendapat itu sudah pernah dikemukakan oleh ulama
sebelumnya atau belum. Dan itu sulit dalam bahasa arab, kenapa? Karena bahasa
arab ini pembaca sekalian sudah lima belas abad menjadi wadah bagi tradisi
keilmuan Islam. Bayangkan, kita harus memeriksa perpustakaan yang usianya lima
belas abad karya-karya yang ada di dalamnya, kira-kira apa yang bisa kita
lakukan. Itulah makanya banyak di antara kawan-kawan terlambat selesai
pendidikannya, kenapa? Karena mereka harus berjibaku membongkar buku-buku yang
ada di perpustakaan. Harus ada jaminan bahwa setiap pendapat yang dikemukakan,
kalau memang itu betul-betul baru, harus bisa dipertanggungjawabkan, tapi kalau
tidak, harus bisa disampaikan dan dinisbahkan kepada pemilik aslinya.
Saya biasa menyampaikan kepada sebagian kawan-kawan membandingkan
bahasa Indonesia dengan bahasa arab sangat jauh. Bahasa Indonesia ini pembaca
sekalian sempat berubah tahun berapa dan kita sekarang ini tahun berapa, berapa
usianya bahasa Indonesia? Bandingkan
dengan bahasa arab sejak turunnya al-Qur’an sampai hari ini. Dan bandingkan
betapa banyak ilmu pengetahuan yang mampu untuk ditampung oleh bahasa arab yang
belum mampu ditampung oleh bahasa Indonesia. Sederhana sekali. Logikanya sangat
sederhana.
4.
Meniru
Orientalis Yang Menggunakan Prasangka Konflik Politik dan Aliran Terhadap
Peristiwa-peristiwa Sejarah Sahabat
Yang juga menjadi catatan saya adalah bahwa buku ini meniru
orientalis yang menggunakan prasangka konflik politik dan politik aliran
terhadap peristiwa-peristiwa sejarah yang ada di zaman sahabat. Jadi kalau kita
baca buku ini, sebenarnya mengutip dari buku Ash-Shahih Min Siratin Nabiy
Al-‘Azham menggunakan metode orientalis yang salah satu cirinya berusaha untuk
melihat peristiwa yang terjadi di zaman sahabat sama dengan kita hari melihat
partai-partai politik. Ada Golkar, PPP, PDI-P, ada partai Demokrat dan
seterusnya. Yang mana setiap pernyataan-pernyataan tingkah laku politik selalu
ditafsirkan dalam kerangka konflik dan upaya untuk memperebutkan kekuasaan.
Itulah juga yang berusaha ditanamkan dalam buku ini. Ketika terjadi peristiwa-peristiwa
yang sifatnya pribadi itu sangat biasa pembaca sekalian, ada konflik-konflik
antara kita dengan tetangga. Ada konflik-konflik antara suami dan istri. Antara
anak dengan bapak. Antara saudara dengan saudara. Itu sesuatu yang sangat
manusiawi. Sahabat-sahabat bukan masyarakat Malaikat. Akan tetapi yang keliru,
misalnya kita menafsirkan konflik suami-istri sebagai perseteruan antara Golkar
dengan Partai Demokrat. Yang keliru adalah ketika kita menafsirkan
perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan sahabat sebagai upaya-upaya partai
politik untuk mendapatkan kekuasaan. Ini keliru. Tidak seperti itu konteksnya.
Tidak pernah kita baca bahwa sahabat-sahabat itu berebutan untuk mendapatkan
kekuasaan, kecuali yang kita baca adalah riwayat-riwayat yang lemah, kalau itu
mungkin banyak pembaca sekalian.
5.
Metode
Penulisan Ilmiah
Metode penulisan ilmiah saya kira tidak perlu diangkat di sini
karena ini adalah karya yang memalukan untuk diangkat di sini.
6.
Melakukan
Penodaan Agama
Kemudian yang terakhir, bahwa Jalaluddin Rakhmat juga melakukan
penodaan agama:
1.
Secara
implisist menghasut masyarakat untuk melecehkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Kira-kira kalau kita membaca bahwa murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bejat, bahwa murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berebut
kekuasaan, bahwa murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap kurang
ajar sesama mereka apa yang kita bayangkan? Yang kita bayangkan adalah
kegagalan pendidikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kesimpulan apa
yang kita peroleh? Kesimpulan yang kita peroleh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak becus mendidik masyarakatnya. Masih banyak professor-professor,
doktor-doktor, guru-guru kita yang lebih berhasil dari Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, begitu kesimpulannya. Secara halus akan tetapi
arahnya sangat jelas.
2.
Secara
eksplisit mendiskreditkan murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
merupakan panutan umat.
Menjelek-jelekkan Mu’awiyah dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma,
ia mengatakan, “Dusta telah menyebar berkenaan dengan agama Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam sejak abad-abad yang pertama, sudah diketahui
sejak zaman para sahabat, bahkan sudah tersebar sejak zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, yang paling merata adalah pada pemerintahan Bani Umayyah”, “kompetisi
politik Bani Umayyah dengan Bani Hasyim menyebabkan Mu’awiyah menyewa beberapa
ulama atau mufti dari para sahabat untuk memutar balikkan peristiwa tentang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam” bayangkan, jadi kalau kita sangat menghormati
ulama-ulama kita hari ini bahwa mereka orang-orang yang tidak mungkin dibeli
fatwanya, Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa Mu’awiyah dahulu bisa membeli fatwa
mufti-mufti sahabat. Kita saja yang hari ini tidak masuk akal kelihatannya,
apalagi dengan sahabat-sahabat yang sudah mengorbankan jiwa, harta, raga, air
mata, darah untuk memperjuangkan Islam ini.
3.
Secara
eksplisit mendiskreditkan ulama-ulama Islam yang merupakan rujukan dalam
pemahaman dan pengamalan agama.
Penulis menjelek-jelekkan Az-Zuhri, Said bin Musayyab, Sufyan
Ats-Tsauri, dikatakan bahwa Az-Zuhri sangat membenci Ali radhiyallahu anhu, ia
termasuk kelompok pencipta hadis maudhu’, bahwa Said bin Musayyab adalah orang
khawarij, munafik dan tidak mau menyalatkan cucu Ali radhiyallahu anhu, yaitu
Ali Zainal Abidin saat wafat. Dan bahwa Sufyan Ats-Tsauri melakukan tadlis dan
meriwayatkan hadis dari para pendusta. Apa yang kita peroleh ketika kita
membaca cerita-cerita seperti ini, akhirnya kita keluar dengan hati hampa,
kalau begitu siapa lagi yang bisa kita percaya. Kalau ulama-ulama kita, Imam
Asy-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, bukan itu lagi yang diambil perkataannya,
bukan lagi itu yang dijadikan sebagai rujukan, apakah Jalaluddin Rakhmat kita
mau jadikan sebagai rujukan? Tidak mungkin. Kalau integritas mereka, kalau kita
hari ini menjelek-jelekkan orang bisa dituntut dan diperkarakan, lantas kenapa
bisa ulama-ulama kita dilecehkan begitu saja. Dihina-hina begitu saja. Padahal
juga tidak disebutkan bukti-buktinya, tidak disebutkan refrensinya dan tidak
diletakkan dalam konteks yang semestinya.
Penutup
Sampai di sini, saya ingin menutup pemaparan ini bahwa ketika saya
pertama kali membaca buku Al-Mushthafa ini, sesuai dengan judulnya,
‘Al-Mushthafa: Manusia Pilihan Yang Disucikan’, sebenarnya yang saya inginkan
adalah bahwa setelah saya membaca buku ini saya mendapatkan ketenangan batin,
bahwa saya benar-benar bisa menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
manusia pilihan yang pantas untuk saya jadikan rujukan dan panutan. Akan tetapi
apa yang terjadi? Baru sedikit buku ini saya baca, yang saya dapatkan justru
upaya-upaya untuk menanamkan kebencian. Kebencian kepada para sahabat,
kebencian kepada para ulama, bukan keteduhan, bukan cinta kasih. Akan tetapi
kebencian kepada orang-orang yang semestinya kita hormati, kepada orang-orang
yang semestinya kita jadikan sebagai rujukan dan panutan kita di dalam
beragama, di dalam beramal, di dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Demikian pembaca sekalian, mudah-mudahan bermanfaat adanya, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala aalihi wa sahabatihi wa
sallam.
Oleh: Ilham Jaya Abdur Rauf, Lc, M.A., Ketua Divisi Pengkajian LPPI
Perw. Indonesia Timur
(lppimakassar.com)
0 komentar:
Posting Komentar