
Arena panggung sejarah intelektual Islam sungguh tak pernah sepi
dari polemik dan kontroversi. Betapa sengit perdebatan sejak kurun pertama
hijriah bisa kita nikmati, misalnya kitab Maqalat al-Islamiyyin yang
ditulis oleh Imam Al-Asy’ari (w. 324/935) dan kitab al Faraq baynal Firaq
oleh Al-Bagdadi (w. 429/1037). Direkam dengan sangat rinci bagaimana silang
pendapat terjadi antar tokoh-tokoh Muktazilah, Rafidhah (Syiah), Murji’ah, dan
Ahlussunnah wal Jama’ah. Jelas tergambar tidak hanya kemajemukan tapi juga
kedewasaan para cendekiawan pada saat itu dalam berpendirian dan berargumntasi
secara santun ilmiah lagi rasional.
Pada abad selanjutnya Imam al Gazali (w. 555/1111) mengguncang
dunia perfilsafatan dengan kitabnya Tahafut al-Falasifah (kerancuan para
filsuf). Dengan piawai disingkapnya pelbagai kerancuan dan percanggahan dalam
pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua sosok paling berpengaruh pada zamannya.
Menerut sang Imam, ada tiga nuktah ajaran mereka berimplikasi kufur. Pertama,
manyatakan bahwa alam semesta ini kekal abadi. Kedua, mengatakan bahwa
Allah tidak mengetahui perkara-perkara detil juz’iyat. Dan ketiga,
mengingkari kebangkitan jasad pada hari kiamat.
Menariknya, penilaian Imam al Gazali itu tidak diterima begitu saja
sebagai dogma. Bantahan terhadapnya datang dari Ibnu Rusyd (w. 595/1198),
filsuf sekaligus ahli fikih yang juga berprofesi sebagai dokter istana Cordoba.
Lewat bukunya yang terkenal Tahafut at-Tahafut (kerancuan pendapat bahwa
filsafat itu rancu), Ibnu Ruyd berhasil membuyarkan mitos bahwa kebenaran
falsafi mustahil bersanding dengan kebenaran agama.
Harus dipahami, bahwa Imam al Gazali tidak menyebut kedua filsuf
tersebut kafir. Sasaran kritiknya semata-mata pemikiran mereka yang dinilainya
keliru, bukan isi hati atau pribadi mereka. Sebab, bagi al Gazali, selagi seseorang
itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian Muhammad saw, mengimani al
Qur’an, maka tidak boleh dianggap kafir apalagi menghukum mereka sebagai
penghuni neraka.
Nasib yang sama dialami oleh warisan intelektualnya yang lain.
Karya-karya sang Imam yang telah mempelopori simbiosis antar kalam dan filsafat
sebagaimana kitab al-Iqtishad fil I’tiqad dan al Maqshad al-Asna,
ushul fikhi dan logika dalam Al-Musthafa dan Syifa’ al Ghalil, seolah
dimentahkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Qudamah. Sementara maha
karya beliau yang menawarkan sintesis antara tasawuf, fikih, dan sunnah dalam Ihya’
Ulumuddin pun tak luput dari koreksi dan sanggahan, padahal kitab ini
menjadi pegangan wajib bagi seluruh gereja di Eropa saat itu. Ini belum
termasuk karya-karya Al-Gazali yang ditujukan khusus untuk kalangan sufi,
seperti Miyskat al-Anwar dan al-Madhum bihi ‘ala Ghairi Ahlihi.
Sikap serupa seyogyanya kita kedepankan ketika menelaah,
mendiskusikan, mengoreksi, dan mengkritik karya-karya Jalaluddin Rakhmat.
Cendekiawan yang dijuluki sebagai pakar komunikasi. Tentu saja merupakan hal
yang berlebihan ghuluw jika yang bersangkutan didewakan oleh
pengikutnya, atau mendogmakan pikiran-pikirannya. Mengkritik dan mengoreksi
Kang Jalal demikian sapaan akrabnya, bukan berarti benci. Sebaliknya apriori
tak harus bertukar jadi vendeta. Seperti kata Aristoteles kala berbeda pendapat
dengan gurunya “amicus Plato sed Magis amica veritas”, cintaku pada
kebenaran melebihi cintaku pada guru.
Fakta yang kongkrit kalau Kang Jalal memiliki ‘maqam intelektual’
–meminjam istilah Ketua Ijabi Sulsel- yang luar biasa adalah beliau tercatat
dalam banyak lembaga ilmiah bertaraf internasional yang tersebar di beberapa
negara, di antaranya: International Communication
Association, Amerika; Anggota The Institute of Contemporary Islamic Thought
(ICIT) Toronto; bersama Prof DR Alwi Shihab, menjadi anggota Deutsche Orient
Stiftung, Berlin, Jerman dan banyak lagi.
Dewasa ini, hampir bisa dipastikan bahwa setiap pakar hanya
membidangi satu keahlian saja, jika yang ada lebih dari itu, maka ia
terkecuali. Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam salah satu karyanya “Retorika
Modern, Pendekatan Praktis” bahwa memiliki otoritas artinya memiliki
keahlian yang diakui. Dokter memiliki ototritas untuk berbicara berkenaan
dengan masalah kesehatan, begitu pula doktor ilmu fikih memiliki otoritas untuk
berbicara tentang hukum perdata dan pidana Islam, dan begitulah seterusnya.
Sangat muda mendeteksi otoritas seseorang, cukup melihat kelulusan dan bidang
kajian yang digelutinya termasuk bentuk pengakuan dari lembaga pendidikan
(ijazah). Pendapat yang mengatakan bahwa gelar akademik tidak penting adalah
‘omong kosong’ karena sepintar apa pun sesorang, jika tidak memiliki riwayat
pendidikan yang jelas maka jangan mimpi masuk ke kampus untuk memasarkan
ide-ide. Begitu pula yang dilakukan oleh Kang Jalal, demi ototritas ia rela
kembali belajar untuk meraih doktor dalam bidang agama, padahal taraf
keilmuannya melebihi para promotornya.
Mengkaji dan mendaras karya-karya Kang Jalal terutama yang
berkenaan dengan komunikasi, maka siapa pun itu akan ‘angkat topi’ dan mengakui
ketinggian ‘maqam-nya’namun tidak sebaliknya, terutama yang bernuansa
agama, lebih khusus lagi yang berkaitan dengan akidah dan sejarah Islam. Kedua
disiplin ilmu yang terakhir kita sebutkan benar-benar menjadikan Kang Jalal
sebagai ‘pembaru’ dalam artian spesial, ‘baru’ karena tulisan-tulisannya tidak
ada kaitannya dengan para ulama terdahulu umat ini (as salafu hadzihil ummah),
atau lebih sempit lagi, ide-ide keislaman Kang Jalal sama sekali ‘baru’ dalam
konteks keindonesiaan sebagaimana yang disebarkan oleh para dai di Nusantara
sejak zaman dahulu, seperti ajaran para Wali Songo di tanah Jawa, Datuk Tellue
di Sulawesi Selatan.
Dalam buku Al-Mushthafa, halaman 136, Kang Jalal menekankan dan menegaskan bahwa Abu Thalib,
paman Nabi yang meninggal bukan dalam keadaan
musyrik tetapi dia seorang muslim sejati, di antara alasannya adalah karena
lemahnya hadis yang menerangkan Abu Thalib masuk neraka. Hadis dimaksud itu
terkenal dengan sebutan hadis Dhahdhah (neraka yang paling ringan). “Jika
kita perhatikan orang-orang yang meriwayatkan hadis (rijal), hampir
semuanya termasuk rangkaian para pendusta atau mudallis (pemalsu sanad),
atau tidak dikenal,” tulis Kang Jalal.
Perawi yang dikategorikan lemah oleh JR adalah Sufyan Ats Tsauri, menurut Kang Jalal, “Sufyan Ats-Tsauri
adalah mudallis dan termasuk golongan pendusta.” Tapi setelah penulis
menelaah kembali kitab rujukan yang dimaksud Kang Jalal, yaitu Mizanul I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi,
tertulis dengan sangat terang. “Wala ‘ibrata liqawli man qala innahu
yudallis wa yaktubu minal kadzdzabin, Maka tidak dapat diterima siapa pun
yang berkata, ‘ia memalsu dan meriwayatkan dari para pendusta’.” Kata
yang bercetak miring ‘digunting’ oleh Kang Jalal, sehingga maknanya tidak
sempurna bahkan terbalik 180 derajat.
Dalam kata pengantar “Al-Musthafa” Kang Jalal menulis. “Pada praktiknya, saya menulis buku ini dalam waktu tiga hari.” Dengan itu kita dapat salut dan angkat topi
jika benar adanya, karena tidak semua penulis bisa berbuat seperti itu, mampu
menulis buku setebal 210 halaman dalam durasi cukup singkat. Tapi terdapat
keraguan karena setelah penulis telusuri ternyata buku yang ditulis tokoh
kontroverisial kita ini terdapat kesamaan dengan sebuah buku yang berbahasa
Arab dengan judul Ash Shahih Min Sirati Nabiyyi al A’zham oleh Sayyed
Ja’far Murtadho Al-‘Amiliy. Konten dan alur
utama yang tertera dalam buku berbahasa Arab tersebut sama persis dengan
buku Al-Musthafa karya Kang Jalal.
Melihat kesalahan-kesalahan Kang Jalal yang baru sekelumit sempat
penulis paparkan, maka sangat sulit
dipercaya jika kita berpegang dan meilihat maqam intelektuanya di atas, tetapi
jika kesalahan-kesalahan fatal itu ia sengaja lakukan untuk menjustifikasi
pendapatnya, maka itu adalah sebuah distorsi fakta, pelakunya masuk dalam
kategori penyimpangan intelektual intellectual abuse bahkan telah masuk
kedalam ‘kubang’ pelacuran intelektual intellectual prostitution,
menyadari kalau perbuatannya adalah dosa
besar, namun tetap menikmatinya. Wallhu A’lam!
Ilham Kadir. Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar & Peneliti
LPPI Indonesia Timur
(lppimakassar.com)
0 komentar:
Posting Komentar